Posted on

Tradisi Lebaran Ketupat di Pulau Lombok

Negara Indonesia memang sangat kaya akan budaya, tradisi dan ada istiadat, tidak terkecuali tradisi dalam rangka melaksanakan rangkaian ibadah selama bulan Ramadhan sampai dengan perayaan Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Masing-masing daerah (etnis) memiliki tradisi yang berbeda-beda, dikemas secara khusus dalam suatu tradisi perayaan hari kemenangan setelah berpuasa menahan diri selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Ada sebagian wilayah yang merayakannya di hari H setelah melakukan sholat Hari Raya, dan ada pula yang merayakannya secara biasa-biasa saja, namun mempunya tradisi yang dikemas lebih meriah di hari lain.

Jika di Madura Perayaan Lebaran / Hari Raya Idul Adha Lebih meriah dibandingkan dengan perayaan Lebaran Idul Fitri, maka di Lombok memiliki tradisi unik yang dilakukan oleh hampir 90% masyarakat Lombok. Tradisi unik yang dilaksanakan 6 hari setelah perayaan Hari Raya Idul Fitri itu disebut sebagai Perayaan Lebaran Ketupat atau Lebaran Topat.

Agama Islam mengajarkan bahwa ada keutamaan bagi orang orang yang melanjutkan puasa seminggu setelah puasa Ramadan yang biasa disebut sebagai puasa Syawal. Untuk mensyukuri berakhirnya puasa sunah tersebut, warga masyarakat di Lombok melaksanakan lebaran kedua setelah Idul Fitri yang disebut dengan nama Lebaran Ketupat atau Lebaran Topat. Kata “topat” diambil dari kata ketupat, yakni penganan masyarakat Lombok dihidangkan khusus pada perayaan Lebaran Ketupat.

Tradisi Lebaran Ketupat di Lombok berlangsung turun-temurun semenjak ratusan tahun lalu. Selain dianggap sebagai rangkaian kegiatan untuk merayakan Idul Fitri, acara tersebut juga memiliki misi mempertahankan tradisi leluhur dan nenek moyang. Jika dikaji lebih mendalam, akan dijumpai banyak nilai-nilai yang terkandung dalam Lebaran Nine (wanita). Mulai dari nilai budaya, agama, hingga pesta kerakyatan, mereka datang dengan membawa perbekalan berupa makanan berupa ketupat, pelalah ayam, daging, opor telur, pakis, paku, urap-urap, dan pelecing kangkung yang kemudian dimakan beramai-ramai di area pantai. Menyusuri tepi pantai sambil membawa hidangan ketupat yang diramu dan dibumbui dengan bahan-bahan segar ala Pulau Lombok menjadikan tradisi Lebaran Ketupat ini menjadi terlihat unik, ditambah lagi dengan berbagai pertunjukan musik tradisional yang diselenggarakan oleh Pemerintah dalam rangka upaya pelestarian budaya dan Tradisi.

NILAI BUDAYA DARI TRADISI LEBARAN KETUPAT DI LOMBOK
Dalam perayaan Lebaran Topat di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kita dapat mengetahui bahwa penggunaan ungkapan Lebaran Nine atau lebaran wanita terhadap Lebaran Topat menunjukkan bahwa Lebaran ini mempunyai posisi penting dalam ekspresi keislaman masyarakat Lombok.

Sebagaimana disebutkan dalam pepatah Sasak :

Manis-manis buak ara, Pedis-pedis rasen nasi.
Manis rasanya si buah ara, Kecut-kecut rasanya nasi

Pepatah di atas mengandung pesan bahwa menyantap makanan hasil keringat sendiri terasa lebih nikmat, ketimbang disuguhkan makanan yang lezat namun didapat dengan cara yang tidak halal.

Selain itu, Lebaran Topat juga dapat menjadi otokritik dan introspeksi bagi manusia untuk mengenal kembali jati dirinya setelah menempuh perjalanan hidup selama satu tahun, yang banyak diwarnai dengan dosa individual dan dosa sosial.

Pepatah Sasak mengatakan “dendek ipuh pantok gong” (tak usah segan memukul/membunyikan gong). Pepatah tersebut mengingatkan manusia agar mengoreksi diri, di antaranya terbuka terhadap saran dan kritik orang lain. Selain itu, acara makan ketupat bersama-sama menunjukkan masih terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan di antara mereka.

peta lombok